Barakallah Fii Umrik

25 Maret 2022 – Aku mengenalnya pertamakali ketika masih kelas 2 SMA. Kami pertamakali bertemu karena sama-sama masuk jurusan A2. Ketika itu tahun 1994 dan aku adalah generasi terakhir penjurusan dengan sistem A1, A2, A3 dan seterusnya.

Ketika pertamakali berkenalan dengannya aku agak aneh dengan namanya, karena disaat temen-temen lain punya nama yang terdiri dari 2 suku kata, dia hanya satu.

Okelah aku nggak mempermasalahkan lebih jauh. Toh itu nama pemberian orangtuanya dan pasti ada arti bagus yang mendalam dan aku nggak tau itu.

Sampai lulus SMA, aku dan dia tetap hanya sebagai teman. Sementara aku malah sibuk pacaran dengan temen sekelasku di kelas 1, kemudian dengan tetangga sebelah rumah.

Setelah empat tahun berlalu, dan aku hampir lulus kuliah, tiba-tiba aku teringat sosok teman sekelasku itu. Ingetnya juga sampe sedetil-detilnya mulai dari wajahnya yang mengotak, rambutnya, sampai kacamata yang dipakainya. Cuma saat itu aku nggak ngeh apakah itu yang dinamakan cinta.

Aku mulai bongkarin kamar buat nyari kartu namanya. Aneh juga sih, ni anak nggak pernah nulis nama panggilannya. Yang ditulis malah nama lengkap dan akronim alias kependekan nama bapaknya sebagai nama panggilan.

Mulailah saling telpon, dan berujung aku sering main ke rumahnya. Puncaknya 12 Agustus taun 2000, aku nembak alias menyatakan cintaku padanya.

Uniknya saat itu operator yang sama-sama kami pakai yaitu Indosat, lagi punya program Freetalk, alias nelpon gratis sesama Indosat dari jam 12 malem sampe 5 pagi. Konsekuensinya tiap 5 menit harus nelpon lagi karena tiap nelpon dijatah cuma 5 menit.

Singkat cerita, mulailah kami menjalani hidup sebagai sepasang kekasih sampai akhirnya kuberanikan diri ngomong ke bapaknya kalo aku berniat menikahi anaknya.

Gayung bersambut, dan kami menikah persis di hari kemerdekaan Indonesia. Tau sendiri kan tanggal berapa hehehehehe…

Nggak kerasa udah 19 taun aku menikah. Rasanya kayak baru kemarin aku menyematkan cincin pernikahanku di jarinya. Segala pasang surut kami alami, termasuk ketika aku keluar dari pekerjaan terakhirku di sebuah radio swasta, dan sakit hipertensi menyerangku.

Kalo mengenang itu semua. Sungguh sebuah kemuliaan, dan aku berdoa pada Allah untuk memberinya kebaikan dan keberkahan. Aku ridho dengan apa yang dia lakukan. Tepat 26 Maret kemarin adalah hari jadinya ke 44. Semoga Allah selalu menjagamu dan memuliakanmu di dunia dan akhirat. Aamiin yaa Rabbal ‘alamin. Barakallah fii umrik cintaaa…

Nasehat, Nasihat, Pitutur…

2 Januari 2022 – Sudah masuk tahun baru Masehi. Tanpa terasa bumi sudah menyelesaikan satu kali revolusinya terhadap matahari. Artinya, bumi ini sudah mengelilingi matahari sesuai dengan orbit atau garis edarnya selama 365 hari atau setahun menurut garis edarnya.

Tahun 2021 sudah terlewati, alhamdulillah dengan baik dan banyak kebaikan Allah yang kuterima untukku dan keluargaku. Emang ada hal kurang baik yang dikasih Allah?

Nah ini dia. Allah itu selalu ngasih yang terbaik buat hamba-hambaNya kok. Gak percaya? Coba duduk yang nyaman, tarik nafas dalam, pejamkan mata, dan ingat hal terkecil apa yang pernah bisa kita lakukan tanpa seizinNya.

Pasti nggak ada! Semua yang terjadi di alam semesta ini adalah karena Dia menghendaki hal itu terjadi, termasuk daun kering yang jatuh dari pohon sekalipun.

Sampeyan kok mendadak ustadz ngene cak?

Wkwkwkwkwk. Nggak lah. Ini cuma sharing pengalaman bahwa apa yang diberikan Allah itu luarbiasa baik. Yang penting gimana mindset alias pola pikir dan prasangka kita. Makanya Allah juga berfirman, Aku adalah seperti persangkaan hambaKu.

Jadi kalo kita berpikir Allah itu baik dan luarbiasa, maka kebaikanlah yang akan datang bertubi-tubi buat kita. Makanya jangan sampe punya setitikpun syak wasangka alias prasangka buruk, apalagi pada Sang Pencipta yang udah menciptakan kita dengan sangat luarbiasa.

Bukti nyata soal prasangka ini adalah waktu aku sakit dua tahun lalu, dan bahkan sempat pingsan di rumahsakit. Saat itulah kurasakan sentuhan kasih sayang Allah yang menyadarkanku, bahkan mewaraskan kembali pikiranku yang udah kopler alias linglung berat.

Alhamdulillah karena aku berusaha keras berprasangka baik alias positive thinking, sekarang aku malah jadi jauh lebih tenang, bahkan bisa mulai belajar hal baru yang jauh lebih bermanfaat daripada ngeyel dengan masa laluku tapi merugikan keliargaku dan aku sendiri.

Hati gembira adalah obat. Itu bukan cuma nasehat dan jargon iklan apotek. Pernyataan itu bisa diartikan bahwa makin dekat dengan Allah, hati akan selalu gembira karena Dia telah berfirman dengan mengingatNya hati menjadi tenang.

Sebuah Bakti Yang Takkan Pernah Bisa Menyaingi

Senin, 14 Desember 2021. – Sehari setelah kedatangan kedua orangtuaku di Jogja, tempatku berdomisili saat ini, aku membawa kedua ortuku, bukan untuk berwisata, tapi untuk menjalani sebuah terapi yang dikenal dengan nama TSI (Terapi Senam Indonesia). Sang pendiri yaitu pak Marjunul Noor Purwoko adalah murid ustadz Haris Moejahid, pendiri Pengobatan Akhir Zaman (PAZ), dan mengembangkan ilmu yang didapat dari kaidah sang guru, dan membuka klinik pengobatan alternatif bernama TSI.

Kupilih terapi ini, karena pengalaman pribadiku bersama istri tercinta yang pernah menjalaninya. Alhamdulillah, Allah memberkahi dengan hasil positif setelah terapi. Dari situlah aku memutuskan membawa ortuku berikhtiar ke sana, sehingga beberapa hari sebelum terapi, aku udah janjian untuk membuat jadwal, segera setelah ortuku datang.

Papa terkena stroke untuk kedua kalinya, setelah yang pertama terjadi sekitar akhir 2013. Stroke yang kedua ini sudah berlangsung sejak sekitar 2018 sampai sekarang.

Ada satu kejadian mengharukan waktu papa terkena stroke. Keponakanku, anak bungsu adikku yang nomer dua (aku tiga bersaudara), tampak termenung dan terus bertanya kenapa aki bisa kena stroke karena kejar-kejaran dengannya waktu itu. Waktu papa sudah boleh pulang, keponakanku menunggunya di teras, dan begitu papa keluar dari mobil, dia langsung bersorak, “Horee aki sudah pulaaang!”

Tapi alangkah shocknya keponakanku, waktu melihat kakek tercintanya turun dari mobil dengan bantuan tongkat, dan jalannya terseok-seok. Yang diharapkannya adalah sosok yang trengginas dan sigap pas turun dari mobil. Inilah kemudian yang sempat membuatnya kepikiran seperti orang linglung, karena tidak menyangka kakeknya akan berkondisi seperti itu.

Selesai menjalani terapi, kedua orangtuaku dan adik-adikku beserta keluarganya kembali ke Jakarta, namun setelah berunding, istriku memintaku untuk ikut, sekaligus mengawal terapinya bisa berkelanjutan, minimal seminggu setelah terapi.

Memang dalam terapi itu diperagakan sebuah gerakan, dan gerakan itu harus direkam sendiri oleh keluarga pasien, karena nantinya akan jadi pe er untuk dilakukan sendiri di rumah. Khusus ayahku, karena beliau kena stroke, gerakannya langsung diterapkan sambil berbaring. Disitulah kemudahan Allah diberikan untuk mereka yang tidak bisa diterapi sambil berdiri.

Akupun ikut dengan keluarga besarku kembali pulang ke Jakarta, tempat di mana papa berkarir sebagai perwira TNI hingga pensiun, sedangkan istri dan anakku kutinggal di Jogja, karena anakku sedang menjalani PKL (Praktek Kerja Lapangan) sebagai syarat nilai karena anakku bersekolah di SMK yang memang menerapkan kurikulum praktek. Sementara istriku menemani di rumah sambil mengurus jualan kue yang dirintisnya beberapa tahun terakhir.

Hari pertama menerapi, alhamdulillah papa mematuhi semua gerakan dengan antusias, karena tekadnya untuk sembuh sangat besar. Itu juga terlihat waktu proses terapi di Jogja. Terapisnya sampai bilang semangatnya bapak masih sangat besar, dan tenaganya juga masih kuat untuk melakukan gerakan seperti menendang atau gerakan tolakan mirip orang berenang. Udah gitu, kekuatan pada tangan yang kena stroke juga masih besar, sehingga masih kuat menarik tangan adikku yang menggenggamnya.

Luarbiasanya lagi, antusiasme itu terlihat terus terpancar, bahkan setelah terapi waktu papa dan mamaku kuajak makan berempat bersama istriku. Wajahnya berseri-seri, beda jauh dengan waktu pertama datang ke Jogja. Waktu itu wajahnya kuyu, kayak kehilangan semangat hidup.

Menurut pak Toro sang terapis, gerakannya diulang secara rutin minimal sehari 3 kali. Diharapkan dengan rutinitas itu, jaringan otot-otot papa yang melemah dan mati karena stroke, akan bisa aktif secara gradual atau bertahap, sambil merangsang tubuh untuk membentuk jaringan baru.

Tiap hari kalau cuaca cerah habis sholat Subuh, aku selalu mengajak papa jalan pagi keliling kompleks. Alhamdulillah karena letak rumah ortu ada di kawasan perumahan, jadi tidak banyak lalu-lalang kendaraan, dan menyenangkan untuk membawanya berkeliling. Liat suasana baru biar nggak di rumah terus. Ndhelok padhang howo kata orang Surabaya.

Papa seneng diajakin keluar gitu. Jadi tiap habis Subuhan nggak melulu rebahan terus di kamar. Seperti yang pernah diingatkan ustadz Syekh Ali Jaber semasa hidup, habis sholat Subuh jangan langsung tidur, karena kurang baik buat kesehatan.

Ada dua manfaat besar yang akan didapat kalau kita beraktivitas dulu setelah sholat Subuh. Manfaat pertama jelas dapet rahmat dan berkahnya Allah, karena di waktu itu karunia Allah sedang banyak-banyaknya tercurah.

Manfaat ke dua, kesehatan akan meningkat sehingga kita nggak gampang sakit. Di waktu Subuh kandungan ozon di udara sangat banyak, dan itu sangat membantu tubuh menjadi sehat, disamping mencegah penuaan dini, dan menyembuhkan berbagai penyakit. Karena itu Syekh Ali Jaber pernah bilang, kurang ajar banget kalo orang habis sholat Subuh tidur lagi, karena disaat Allah lagi bagi-bagi kebaikan, eh kitanya malah asyik tarik selimut.

Nggak kerasa seminggu sudah aku di ibukota, demi menjalankan baktiku pada orangtua, terutama papa yang lagi sakit. Tibalah saatnya aku pulang ke tanah rantauku di Jogja, dengan pesan supaya papa rajin terapi bersama adik-adikku. Apalagi ada cucunya yang merupakan anak bungsu dari adikku, yang seneng banget ikutan menerapi. Kadang dia bantu narik tangan kanan papa, yang memang jadi bagian dari terapi, kadang ikut menggerakkan kaki papa ke kiri dan kanan untuk gerakan pemanasan. Sang kakek jelas senang sekali cucunya ikut bantu menerapi. Semoga aki cepat sehat lagi dan sembuh dari strokenya. Aamiin.

Saat sedang melihat jendela, muncullah inspirasi menuliskan kisah ini, yang akhirnya membuatku membuka blog ini, dan mencurahkan apa yang kualami seminggu kemarin.

Memang cuma sekelumit yang bisa kulakukan, dan sangat jelas baktiku tidak ada apa-apanya dengan kasih sayang orangtuaku, berapapun yang sanggup kulakukan. Di atas kereta Taksaka yang sedang melaju mengantarku kembali ke Jogja, teruntai sebaris doa dan harapan pada Allah, agar selalu menjaga orangtuaku, mengaruniakan kesehatan untuk mereka, menyembuhkan semua sakit yang mereka alami, menjadikanku, keluargaku dan adik-adikku berbakti sebaik mungkin, dan memberi surga tanpa hisab kelak buat kedua orangtuaku.

Aamiin yaa Rabbal ‘alamin.

Coretanku

Ketika menbuat blog ini, aku lagi ngetem di parkiran pasar, nganterin istri belanja. Daripada gabut, aku jadi inget celoteh para naraaumber di buku Hidup Ini Indah Bro.

Mereka orang-orang sibuk dengan pekerjaan dan usahanya. Malah ada juga seorang dokter yang juga kepala rumahsakit di Kalimantan.

Mereka mau menyempatkan diri menulis, apapun yang mau diceritakan. Mulai kisah hidup sehari-hari, sampai hal-hal yang menarik perhatian.

Itulah yang akhirnya membuatku menulis di blog ini, meski sudah beberapa blog kubuat sebagai kanvasku bercerita layaknya sebuah lukisan.